Rabu, 16 Desember 2015

TRADISI KEBUDAYAAN MARPANGIR



MAKALAH 
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
Akulturasi kebudayaan islam marpangir
DOSEN PENGAMPU : Bpk  Suyanto, S.sos., M.si 
Di susun oleh :
Nur Alfi Hasanah                         15230057


KATA PENGANTAR



          Assalamu’alaikum wr.wb

Segala puji bagi Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
          Dalam makalah ini kami akan memberikan contoh akulturasi kebudayaan islam. Materi yang akan kami angkat disini ialah marpangir yaitu kebudayaan yang berasal dari Sumatra. Demikian makalah ini kami buat, kami sadar  bahwa dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan. Maka kritik dan saran yang membangun  demi kesempurnaan makalah sangat kami harapkan.   

Wassalamu’alaikum Wr. Wb


                                                                  



                   Yogyakarta, 22  November 2015
                                                                            
                                                                            
                                                                                         Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar belakang
Setiap daerah di Indonesia pasti memiliki kebudayaan, kebudayan itu bermacam-macam antara lain kebudayaan kesenian, kebudayaan keagamaan dan lain-lain. Seringkali terjadi akulturasi maupun asimilasi dari kebudayaan-kebudayaan yang ada. Tradisi-tradisi peninggalan sejak nenek moyang banyak yang masih dilakukan dizaman modern sekarang ini,salah satunya akan dibahas dalam makalah ini. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang akulturasi kebudayaan islam. Marpangir merupakan kebudayaan atau tradisi mandi keramas yang dilakukan sehari sebelum bulan puasa yang dilakukan oleh orang-orang Sumatra yang bertujuan untuk menyambut bulan suci romadhon.
B.   Rumusan masalah
1.     Apa itu mandi marpangir?
2.     Bagaimana ritualnya?

C.   Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberikan iformasi kepada pembaca mengenai tradisi nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat Sumatra, yaitu marpangir.










BAB II
PEMBAHASAN
A.   Tradisi marpangir
Secara harfiah, marpangir merupakan tradisi mandi dan keramas (mencuci rambut) yang mempunyai makna pembersihan diri secara fisik dan batiniah, yang meskipun dilaksanakan berkaitan dengan momen keislaman, namun tidak ditemukan dalam ajaran para nabi. Ritual-ritual ini dianggap sebagai sisa-sisa dari kepercayaan Hindu, tepatnya tradisi yang dilaksanakan untuk menyucikan diri di Sungai Gangga, India. Akan tetapi dalam kepercayaan orang Jawa di Sumatera Utara, serta etnis lain yang menjalankannya, tradisi ini tidak dirujuk lagi sebagai tradisi yang berasal dari agama Hindu. Ini merupakan tradisi Islam yang terdapat pada beberapa etnik lain, yang membuat mereka mendapatkan kepuasan batin dan kenyamanan saat akan memasuki serta menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Sebuah tradisi yang tidak akan mudah dihilangkan. Tradisi “marpangir” (mandi pakai sejenis jeruk purut) sudah lama di kenal oleh masyarakat batak.   Hingga kini di daerah Sipirok tradisi marpangir masih dilakukan bahkan merupakan suatu ritual yang di umum dilakukan menjelang bulan puasa. Saudara kita yang muslim akan mandi marpangir bersama di batang aek.  Belakangan tradisi ini mulai di tinggalkan oleh beberapa orang batak toba, tidak jelas mulai kapan tradisi ini menjadi tidak populer, namun diduga karena tradisi marpangir dianggap bagian dari hasipelebeguon (kegelapan/animisme).
Konon para datu (dukun) selalu mensyarakatkan setiap pasiennya untuk marpangir, tentunya unte pangir yang dipakai mandi tersebut sudah harus di bawa ke dukun yang bersangkutan dan di bacakan mantera-mantera. Kemungkinan besar itulah yang membuat sebagian besar orang batak toba (kristen) menganggap marpangir menjadi bagian dari hasipelebeguon.
B.   Ritual marpangir
Mereka membersihkan tubuh dengan ramuan-ramuan khusus, membasuh rambut (keramas) sampai halus. Di beberapa tempat yang beruntung punya sungai bagus, dengan ramuan itu mereka bermaksud “menghanyutkan dosa-dosa” ke arah hilir, dan kini mereka telah siap untuk memasuki satu bulan suci dalam Islam, yaitu Ramadhan. Setiap menjelang bulan Ramadhan yang berarti kegiatan puasa akan tiba, kelompok-kelompok masyarakat yang beragama Islam di Sumatera melakukan tradisi persiapan lahir dan batin. Biasanya, dalam tradisi ini, terdapat beberapa ritual yang dilaksanakan secara berbeda—meskipun ada kaitannya--oleh etnis-etnis yang hidup di pulau ini.
Ritual tersebut antara lain, ziarah ke makam, mandi keramas, dan punggahan (naik ke bulan yang suci dengan kegiatan kenduri). Dari tiga tradisi tersebut, saya akan mengungkapkan latar budaya mandi keramas, khususnya yang berlangsung pada orang Jawa di Sumatera Utara, yang berbeda dengan tradisi asli di Jawa. Perbedaan ini memperlihatkan sifat adaptif budaya Jawa terhadap tradisi setempat tanpa menghilangkan ciri khas mereka sebagai orang Jawa yang sudah berdomisili di Sumatera sejak akhir abad 19.
Pada beberapa kelompok etnik di Sumatera Utara, terdapat istilah-istilah yang berbeda untuk menyebut ritual mandi keramas ini. Pada etnik Melayu Deli dan Mandailing, ritual mandi ini disebut dengan istilah ”marpangir” (selanjutnya kita akan mengunakan istilah ini). Pada kelompok etnik Minang dan Aceh Singkil, kegiatan yang sama disebut dengan istilah ”balimau”, dan etnik Melayu di Riau menyebutnya dengan ”balimau kasai”. Istilah penyebutan ini memiliki substansi yang sama, yaitu suatu ritual pembersihan diri dan biasanya dilakukan sehari menjelang puasa.
Uniknya, pada etnis Karo yang bukan Islam, kegiatan marpangir (mandi keramas) juga ditemukan. Mereka menyebutnya dengan ”erpangir ku lau”, yang juga bermakna pembersihan diri. Berbeda dari kelompok etnik Melayu, Mandailing dan Minang, marpangir bagi etnik Karo merupakan tradisi yang tidak ada hubungannya dengan penyambutan Ramadhan. Jika marpangir pada etnis Jawa, Melayu dan Mandailing merupakan ritual yang dilakukan secara individual, tetapi pada etnis Karo ritual ini dilakukan secara kolektif dan ada pemimpin ritualnya. Bagi etnis Karo, selain bertujuan membersihkan diri, mereka juga dapat melaksanakan ritual ini dalam rangka pengobatan atau penyembuhan penyakit, minta rezeki, penghormatan terhadap leluhur, dan bahkan untuk memanjatkan rasa syukur terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Etnik Jawa di Sumatera Utara pun tidak menggunakan istilah khusus untuk menyebut istilah marpangir, dan mereka mengikuti penggunaan istilah yang digunakan oleh host population (etnik setempat) seperti Mandailing, Melayu dan Karo. Padahal di Jawa, daerah asal mereka, sesungguhnya terdapat istilah khusus untuk kegiatan ini, yaitu ”padusan”, yang berasal dari kata dasar ”adus” yang berarti “mandi”. Tetapi orang Jawa di Sumatera Utara tidak mempergunakan istilah padusan lagi.
Kata dasar ”marpangir” dan ”erpangir” adalah “pangir”, yaitu kata benda dari ramuan yang digunakan untuk mandi keramas. Ramuan pangir itu memiliki variasi antar satu tempat dengan tempat lain, dengan unsur-unsur seperti akar rusa, serai wangi, bunga pinang, daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk purut serta batang kapellon yang mengandung unsur wewangian. Dengan demikian, balimau, balimau kasai, dan marpangir memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu mandi menjelang masuknya bulan Ramadhan serta ingin memperoleh keberkahan dari Tuhan yang Maha Esa.
Ritual yang berkaitan dengan penyambutan Ramadhan ini dijalankan secara lengkap oleh kelompok orang Jawa di Sumatera Utara. Selain marpangir, orang Jawa menjalankan ritual ziarah dan punggahan, yaitu upacara yang dijalankan secara kolektif dalam rangka mempersiapkan diri secara lahir dan batin. Ritual ziarah ke makam keluarga yang telah meninggal, marpangir dan punggahan merupakan upacara ritual yang biasanya dijalankan secara berurutan.
Dalam tradisi Jawa, ketiga aktivitas tersebut menjadi satu paket yang sudah menjadi tradisi turun temurun dalam rangka slametan (selamatan) yang berkaitan dengan tanggal-tanggal penting dalam kalender Islam. Masih ada jenis slametan lain di luar penyambutan Ramadhan. Sebagaimana dikatakan Geertz dalam bukunya ”Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa” (1981), slametan yang dijalankan oleh orang Jawa terbagi dalam empat jenis, yaitu untuk menghormati sekitar krisis kehidupan (kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian), merayakan sesuatu yang ada hubungannya dengan hari-hari Islam, integrasi sosial desa, dan slametan yang diselenggarakan dalam waktu tidak tetap.
Ziarah, marpangir dan punggahan dijalankan berdasarkan kepercayaan orang Jawa yang meyakini adanya integrasi masyarakat dengan alam adikodrati yang diwujudkan dalam bentuk penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur. Meskipun demikian, Islam tetap menjadi kekuatan dominan dalam setiap kegiatan ritual dan kepercayaan orang Jawa di Sumatera Utara. Dalam literatur antropologi, hal itu disebut Woodward (2006:10) sebagai Islam Jawa (dikategorikan sebagai abangan dan priyayi). Prinsip yang menjadi landasan bagi orang Jawa adalah untuk menciptakan keadaaan slamet, dengan menciptakan sesuatu yang selaras dengan alam. Untuk itu, selain berserah diri pada Tuhan yang Maha Esa secara Islam, juga diperlukan tindakan-tindakan khusus untuk mengintegrasikan manusia dengan alam adikodrati yang dalam hal ini adalah penghormatan terhadap nenek moyang. Marpangir, ziarah dan punggahan sesungguhnya tidak ditemukan dalam ajaran Islam.
Dalam antropologi (Koentjaraningrat, 1985:243), upacara-upacara ritual, baik secara kolektif maupun individual, pelaksanaannya harus memenuhi komponen tempat upacara, saat upacara, alat-alat upacara, dan orang-orang yang melakukan upacara. Benda dan alat-alat yang digunakan untuk melakukan marpangir tidak hanya dipilih karena menimbulkan aroma wewangian yang khas sehingga berdampak memberikan kesegaran bagi yang menggunakannya, tapi juga diyakini mengandung kekuatan penyucian diri. Ramuan-ramuan “pangir” dipadu dengan cara direbus bersama, kemudian diguyurkan dari ujung kepala hingga ke seluruh tubuh. Unsur-unsur seperti serai wangi, bunga pinang, daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk purut, serta batang kapellon dianggap dapat menginterpretasikan keharuman untuk doa yang dipanjatkan.
Jeruk purut dipercaya sebagai benda yang ampuh untuk membersihkan atau menjauhkan dari dari gangguan makhluk-makhluk jahat. Jenis akar rusa melambangkan keteguhan hati, pertahanan, dan kekuatan, seperti akar yang mengikat pohonnya. Jadi, setiap bahan pangir adalah simbol dari harapan atau doa. Dari pendekatan logika, bahan-bahan khusus tersebut memang memancarkan keharuman yang dapat menenteramkan, menyejukkan, dan memulikan jiwa.
Berkaitan dengan kegiatan puasa pada bulan Ramadhan, setiap jenis benda yang digunakan dalam kegiatan marpangir dianggap mempunyai kekuatan yang ampuh dan berfungsi untuk menyelamatkan penggunanya dari gangguan-gangguan hawa nafsu selama menjalankan ibadah puasa. Gangguan-gangguan tersebut dipercaya selalu muncul dari makhluk-makhluk jahat yang tidak kelihatan, dan makhluk-makhluk ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam hidup mereka. Hal ini mencerminkan nilai-nilai yang merepresentasikan suatu pengharapan keberkahan dan keselamatan bagi yang menggunakannya, serta terhindar dari marabahaya. Agar kegatan ini berjalan sukses, maka unsur pangir harus lengkap.
Adapun manfaat atau kegunaan ramuan pangir atau jeruk purut, Bagian yang digunakan adalah buah dan daun.
INDIKASI
Buah,jeruk purut digunakan untuk mengatasi :
– influenza,
– badan terasa lelah,
– rambut kepala yang bau (mewangikan kulit), serta
– kulit bersisik dan mengelupas.
Daun,jeruk purut digunakan untuk mengatasi :
– badan letih dan lemah sehabis sakit berat.
Contoh penggunaan di masyarakat
Influenza
Potong sebuah jeruk purut masak dan banyak airnya, lalu peras. Seduh air perasannya dengan 60 cc air panas. Minum sekaligus selagi hangat.
Kulit bersisik dan mengelupas
Belah jeruk purut tua menjadi dua bagian. Gosokkan pada kulit yang bersisik, kering, dan mudah mengelupas di kulit kepala atau bagian lain dari tubuh. Lakukan satu kali sehari, malam sebelum tidur.
Mewangikan rambut kepala
Cuci 1 buah jeruk purut masak sampai bersih, lalu parut. Tambahkan 1 sendok makan air bersih, lalu remas dan saring. Gunakan air saringannya untuk menggosok rambut setelah keramas.
Badan lelah setelah bekerja atau letih sehabis sakit berat
Sediakan 2 ge       nggam daun jeruk purut segar. Rebus dalam 3 liter air sampai mendidih (selama 10 menit). Tuangkan ramuan tersebut ke dalam 1 ember air hangat dan gunakan untuk mandi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
        Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa masih ada masyarakat yang melakukan tradisi ini tiap tahunnya, lebih tepatnya pada setiap sehari sebelum bulan romadhon. Terjadi asimilasi budaya islam karena mandi pangir bertujuan untuk membersihkan atau mensucikan diri sebelum bulan romadhon serta tradisi nenek moyang untuk mandi keramas menggunakan ramuan pangir yang terbuat dari berbagai ramuan campuran buah jeruk pangir atau sering dikenal dengan sebutan jeruk purut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar