MAKALAH
SEJARAH KEBUDAYAAN
ISLAM
Akulturasi kebudayaan islam marpangir
DOSEN PENGAMPU : Bpk
Suyanto, S.sos., M.si
Di susun oleh :
Nur Alfi Hasanah 15230057
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Segala puji bagi Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
kepada kita sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Dalam makalah ini kami akan memberikan
contoh akulturasi kebudayaan islam. Materi yang akan kami angkat disini ialah
marpangir yaitu kebudayaan yang berasal dari Sumatra. Demikian makalah ini kami
buat, kami sadar bahwa dalam makalah ini
masih banyak sekali kekurangan. Maka kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah sangat kami
harapkan.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb
Yogyakarta, 22 November 2015
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Setiap
daerah di Indonesia pasti memiliki kebudayaan, kebudayan itu bermacam-macam
antara lain kebudayaan kesenian, kebudayaan keagamaan dan lain-lain. Seringkali
terjadi akulturasi maupun asimilasi dari kebudayaan-kebudayaan yang ada.
Tradisi-tradisi peninggalan sejak nenek moyang banyak yang masih dilakukan
dizaman modern sekarang ini,salah satunya akan dibahas dalam makalah ini. Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang akulturasi kebudayaan islam. Marpangir
merupakan kebudayaan atau tradisi mandi keramas yang dilakukan sehari sebelum
bulan puasa yang dilakukan oleh orang-orang Sumatra yang bertujuan untuk
menyambut bulan suci romadhon.
B.
Rumusan masalah
1. Apa
itu mandi marpangir?
2. Bagaimana
ritualnya?
C.
Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk
memberikan iformasi kepada pembaca mengenai tradisi nenek moyang yang masih
dijalankan oleh masyarakat Sumatra, yaitu marpangir.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tradisi marpangir
Secara harfiah, marpangir merupakan
tradisi mandi dan keramas (mencuci rambut) yang mempunyai makna pembersihan
diri secara fisik dan batiniah, yang meskipun dilaksanakan berkaitan dengan
momen keislaman, namun tidak ditemukan dalam ajaran para nabi. Ritual-ritual
ini dianggap sebagai sisa-sisa dari kepercayaan Hindu, tepatnya tradisi yang
dilaksanakan untuk menyucikan diri di Sungai Gangga, India. Akan tetapi dalam
kepercayaan orang Jawa di Sumatera Utara, serta etnis lain yang menjalankannya,
tradisi ini tidak dirujuk lagi sebagai tradisi yang berasal dari agama Hindu.
Ini merupakan tradisi Islam yang terdapat pada beberapa etnik lain, yang
membuat mereka mendapatkan kepuasan batin dan kenyamanan saat akan memasuki
serta menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Sebuah tradisi yang tidak akan
mudah dihilangkan. Tradisi “marpangir” (mandi pakai sejenis jeruk purut) sudah
lama di kenal oleh masyarakat batak. Hingga kini di daerah Sipirok
tradisi marpangir masih dilakukan bahkan merupakan suatu ritual yang di umum
dilakukan menjelang bulan puasa. Saudara kita yang muslim akan mandi marpangir
bersama di batang aek. Belakangan tradisi ini mulai di tinggalkan oleh
beberapa orang batak toba, tidak jelas mulai kapan tradisi ini menjadi tidak
populer, namun diduga karena tradisi marpangir dianggap bagian dari hasipelebeguon
(kegelapan/animisme).
Konon para datu (dukun) selalu mensyarakatkan setiap
pasiennya untuk marpangir, tentunya unte pangir yang dipakai mandi tersebut
sudah harus di bawa ke dukun yang bersangkutan dan di bacakan mantera-mantera.
Kemungkinan besar itulah yang membuat sebagian besar orang batak toba (kristen)
menganggap marpangir menjadi bagian dari hasipelebeguon.
B. Ritual marpangir
Mereka membersihkan tubuh dengan
ramuan-ramuan khusus, membasuh rambut (keramas) sampai halus. Di beberapa
tempat yang beruntung punya sungai bagus, dengan ramuan itu mereka bermaksud
“menghanyutkan dosa-dosa” ke arah hilir, dan kini mereka telah siap untuk
memasuki satu bulan suci dalam Islam, yaitu Ramadhan. Setiap menjelang bulan
Ramadhan yang berarti kegiatan puasa akan tiba, kelompok-kelompok masyarakat
yang beragama Islam di Sumatera melakukan tradisi persiapan lahir dan batin.
Biasanya, dalam tradisi ini, terdapat beberapa ritual yang dilaksanakan secara
berbeda—meskipun ada kaitannya--oleh etnis-etnis yang hidup di pulau ini.
Ritual tersebut antara lain, ziarah
ke makam, mandi keramas, dan punggahan (naik ke bulan yang suci dengan kegiatan
kenduri). Dari tiga tradisi tersebut, saya akan mengungkapkan latar budaya
mandi keramas, khususnya yang berlangsung pada orang Jawa di Sumatera Utara,
yang berbeda dengan tradisi asli di Jawa. Perbedaan ini memperlihatkan sifat
adaptif budaya Jawa terhadap tradisi setempat tanpa menghilangkan ciri khas
mereka sebagai orang Jawa yang sudah berdomisili di Sumatera sejak akhir abad
19.
Pada beberapa kelompok etnik di
Sumatera Utara, terdapat istilah-istilah yang berbeda untuk menyebut ritual
mandi keramas ini. Pada etnik Melayu Deli dan Mandailing, ritual mandi ini
disebut dengan istilah ”marpangir” (selanjutnya kita akan mengunakan istilah
ini). Pada kelompok etnik Minang dan Aceh Singkil, kegiatan yang sama disebut
dengan istilah ”balimau”, dan etnik Melayu di Riau menyebutnya dengan ”balimau
kasai”. Istilah penyebutan ini memiliki substansi yang sama, yaitu suatu ritual
pembersihan diri dan biasanya dilakukan sehari menjelang puasa.
Uniknya, pada etnis Karo yang bukan
Islam, kegiatan marpangir (mandi keramas) juga ditemukan. Mereka menyebutnya
dengan ”erpangir ku lau”, yang juga bermakna pembersihan diri. Berbeda dari
kelompok etnik Melayu, Mandailing dan Minang, marpangir bagi etnik Karo
merupakan tradisi yang tidak ada hubungannya dengan penyambutan Ramadhan. Jika
marpangir pada etnis Jawa, Melayu dan Mandailing merupakan ritual yang dilakukan
secara individual, tetapi pada etnis Karo ritual ini dilakukan secara kolektif
dan ada pemimpin ritualnya. Bagi etnis Karo, selain bertujuan membersihkan
diri, mereka juga dapat melaksanakan ritual ini dalam rangka pengobatan atau
penyembuhan penyakit, minta rezeki, penghormatan terhadap leluhur, dan bahkan
untuk memanjatkan rasa syukur terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Etnik Jawa di Sumatera Utara pun
tidak menggunakan istilah khusus untuk menyebut istilah marpangir, dan mereka
mengikuti penggunaan istilah yang digunakan oleh host population (etnik
setempat) seperti Mandailing, Melayu dan Karo. Padahal di Jawa, daerah asal
mereka, sesungguhnya terdapat istilah khusus untuk kegiatan ini, yaitu
”padusan”, yang berasal dari kata dasar ”adus” yang berarti “mandi”. Tetapi
orang Jawa di Sumatera Utara tidak mempergunakan istilah padusan lagi.
Kata dasar ”marpangir” dan
”erpangir” adalah “pangir”, yaitu kata benda dari ramuan yang digunakan untuk
mandi keramas. Ramuan pangir itu memiliki variasi antar satu tempat dengan
tempat lain, dengan unsur-unsur seperti akar rusa, serai wangi, bunga pinang,
daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk purut serta batang kapellon yang
mengandung unsur wewangian. Dengan demikian, balimau, balimau kasai, dan
marpangir memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu mandi menjelang masuknya
bulan Ramadhan serta ingin memperoleh keberkahan dari Tuhan yang Maha Esa.
Ritual yang berkaitan dengan
penyambutan Ramadhan ini dijalankan secara lengkap oleh kelompok orang Jawa di
Sumatera Utara. Selain marpangir, orang Jawa menjalankan ritual ziarah dan
punggahan, yaitu upacara yang dijalankan secara kolektif dalam rangka
mempersiapkan diri secara lahir dan batin. Ritual ziarah ke makam keluarga yang
telah meninggal, marpangir dan punggahan merupakan upacara ritual yang biasanya
dijalankan secara berurutan.
Dalam tradisi Jawa, ketiga aktivitas
tersebut menjadi satu paket yang sudah menjadi tradisi turun temurun dalam
rangka slametan (selamatan) yang berkaitan dengan tanggal-tanggal penting dalam
kalender Islam. Masih ada jenis slametan lain di luar penyambutan Ramadhan.
Sebagaimana dikatakan Geertz dalam bukunya ”Abangan, Santri, Priayi dalam
Masyarakat Jawa” (1981), slametan yang dijalankan oleh orang Jawa terbagi dalam
empat jenis, yaitu untuk menghormati sekitar krisis kehidupan (kelahiran,
khitanan, perkawinan, dan kematian), merayakan sesuatu yang ada hubungannya
dengan hari-hari Islam, integrasi sosial desa, dan slametan yang
diselenggarakan dalam waktu tidak tetap.
Ziarah,
marpangir dan punggahan dijalankan berdasarkan kepercayaan orang Jawa yang
meyakini adanya integrasi masyarakat dengan alam adikodrati yang diwujudkan
dalam bentuk penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur. Meskipun
demikian, Islam tetap menjadi kekuatan dominan dalam setiap kegiatan ritual dan
kepercayaan orang Jawa di Sumatera Utara. Dalam literatur antropologi, hal itu
disebut Woodward (2006:10) sebagai Islam Jawa (dikategorikan sebagai abangan
dan priyayi). Prinsip yang menjadi landasan bagi orang Jawa adalah untuk
menciptakan keadaaan slamet, dengan menciptakan sesuatu yang selaras dengan
alam. Untuk itu, selain berserah diri pada Tuhan yang Maha Esa secara Islam,
juga diperlukan tindakan-tindakan khusus untuk mengintegrasikan manusia dengan
alam adikodrati yang dalam hal ini adalah penghormatan terhadap nenek moyang.
Marpangir, ziarah dan punggahan sesungguhnya tidak ditemukan dalam ajaran
Islam.
Dalam antropologi (Koentjaraningrat,
1985:243), upacara-upacara ritual, baik secara kolektif maupun individual, pelaksanaannya
harus memenuhi komponen tempat upacara, saat upacara, alat-alat upacara, dan
orang-orang yang melakukan upacara. Benda dan alat-alat yang digunakan untuk
melakukan marpangir tidak hanya dipilih karena menimbulkan aroma wewangian yang
khas sehingga berdampak memberikan kesegaran bagi yang menggunakannya, tapi
juga diyakini mengandung kekuatan penyucian diri. Ramuan-ramuan “pangir” dipadu
dengan cara direbus bersama, kemudian diguyurkan dari ujung kepala hingga ke
seluruh tubuh. Unsur-unsur seperti serai wangi, bunga pinang, daun pandan, daun
nilam, buah dan daun jeruk purut, serta batang kapellon dianggap dapat
menginterpretasikan keharuman untuk doa yang dipanjatkan.
Jeruk
purut dipercaya sebagai benda yang ampuh untuk membersihkan atau menjauhkan
dari dari gangguan makhluk-makhluk jahat. Jenis akar rusa melambangkan
keteguhan hati, pertahanan, dan kekuatan, seperti akar yang mengikat pohonnya.
Jadi, setiap bahan pangir adalah simbol dari harapan atau doa. Dari pendekatan
logika, bahan-bahan khusus tersebut memang memancarkan keharuman yang dapat
menenteramkan, menyejukkan, dan memulikan jiwa.
Berkaitan dengan kegiatan puasa pada
bulan Ramadhan, setiap jenis benda yang digunakan dalam kegiatan marpangir
dianggap mempunyai kekuatan yang ampuh dan berfungsi untuk menyelamatkan
penggunanya dari gangguan-gangguan hawa nafsu selama menjalankan ibadah puasa.
Gangguan-gangguan tersebut dipercaya selalu muncul dari makhluk-makhluk jahat
yang tidak kelihatan, dan makhluk-makhluk ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan
dalam hidup mereka. Hal ini mencerminkan nilai-nilai yang merepresentasikan
suatu pengharapan keberkahan dan keselamatan bagi yang menggunakannya, serta
terhindar dari marabahaya. Agar kegatan ini berjalan sukses, maka unsur pangir
harus lengkap.
Adapun manfaat atau kegunaan ramuan pangir atau jeruk purut,
Bagian yang digunakan adalah buah dan daun.
INDIKASI
Buah,jeruk
purut digunakan untuk mengatasi :
–
influenza,
–
badan terasa lelah,
–
rambut kepala yang bau (mewangikan kulit), serta
–
kulit bersisik dan mengelupas.
Daun,jeruk
purut digunakan untuk mengatasi :
–
badan letih dan lemah sehabis sakit berat.
Contoh
penggunaan di masyarakat
Influenza
Potong sebuah jeruk purut masak dan banyak airnya, lalu
peras. Seduh air perasannya dengan 60 cc air panas. Minum sekaligus selagi
hangat.
Kulit bersisik dan mengelupas
Belah jeruk purut tua menjadi dua bagian. Gosokkan pada
kulit yang bersisik, kering, dan mudah mengelupas di kulit kepala atau bagian
lain dari tubuh. Lakukan satu kali sehari, malam sebelum tidur.
Mewangikan rambut kepala
Cuci 1 buah jeruk purut masak sampai bersih, lalu parut.
Tambahkan 1 sendok makan air bersih, lalu remas dan saring. Gunakan air
saringannya untuk menggosok rambut setelah keramas.
Badan lelah setelah bekerja atau letih sehabis sakit berat
Sediakan 2 ge nggam
daun jeruk purut segar. Rebus dalam 3 liter air sampai mendidih (selama 10
menit). Tuangkan ramuan tersebut ke dalam 1 ember air hangat dan gunakan untuk
mandi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan
bahwa masih ada masyarakat yang melakukan tradisi ini tiap tahunnya, lebih
tepatnya pada setiap sehari sebelum bulan romadhon. Terjadi asimilasi budaya
islam karena mandi pangir bertujuan untuk membersihkan atau mensucikan diri
sebelum bulan romadhon serta tradisi nenek moyang untuk mandi keramas
menggunakan ramuan pangir yang terbuat dari berbagai ramuan campuran buah jeruk
pangir atau sering dikenal dengan sebutan jeruk purut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar