Sabtu, 11 November 2017

Artikel Tafsir


AKTUALISASI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM AL-QUR’AN
SIKAP YANG HARUS DIMILIKI OLEH FASILITATOR DALAM MENYELESAIKAN MASALAH




Disusun oleh :
NUR ALFI HASANAH
(15230057)





PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Upaya untuk memberdayakan masyarakat disebut juga fasilitasi, fasilitasi dilakukan oleh seorang pemberdaya masyarakat atau disebut juga fasilitator. Menjadi fasilitator harus memiliki keahlian, berkompeten, dan memiliki sikap dan sifat yang sesuai. Tugas fasilitator diantaranya, membina kelompok masyarakat yang terkena krisis sehingga menjadi suatu kebersamaan tujuan dan kegiatan yang berorientasi pada upaya perbaikan kehidupan, dan sebagai penghubung dan penggerak dalam pembentukan kelompok masyarakat dan pembimbing pengembangan kegiatan kelompok. Kegiatan pendampingan dilakukan dalam upaya mendorong partisipasi dan kemandirian masyarakat, dan merupakan salah satu bagian dalam proses pemberdayaan masyarakat.
Dalam masyarakat sering pula dijumpai permasalahan-permasalahan yang ada di suatu daerah itu, dalam penyelesaian masalah seorang fasilitator harus membantu dalam penyelesaian masalah tersebut dan juga memberikan solusi terbaik akan masalah yang muncul. Dalam melihat masalah yang muncul pun fasilitator harus menyikapinya dengan kepala dingin, tidak dengan emosi. Adapun cara yang digunakan fasilitator untuk menyelesaikan masalah yaitu dengan musyawarah, didalam musyawarah keputusan dari penyelesaian masalah diambil dengan mufakat, semua orang dilibatkan, dan kelompok masyarakat mengambil keputusan secara demokratis berdasarkan suara terbanyak dan menjadi keputusan bersama.
Untuk menghadapi persoalan diatas tentunya fasilitator harus memiliki sikap sabar, tekun, solutif, kreatif, religius dan menjadi pendengar yang baik bagi keluhan masyarakat dari permasalahan yang muncul.
Dalam artikel ini akan dibahas mengenai sikap yang harus dimiliki oleh seorang fasilitator dalam menyelesaikan masalah. Dalam memberdayakan masyarakat seorang fasilitator akan berhadapan langsung dan berkomunikasi langsung dengan masyarakat yang akan diberdayakan, masyarakat membutuhkan teladan untuk dicontoh. Sebagai fasilitator harus menjadi teladan dan panutan bagi masyarakat, sehingga kinerja profesional dan kepercayaan terus meningkat. Fasilitator harus bersikap sopan, jujur, terbuka, demokratis, profesional dan sikap baik lainya. Untuk menjadi fasilitator yang ideal ada kriteria yang dapat digunakan sebagai panduan untuk menentukan kualitas dirinya[1]. Antara lain :
a)      Kreatif
b)      Sabar
c)      Mendukung kinerja
d)      Berminat
e)      Pendengar yang baik
f)       Selalu bekerjasama secara efektif
g)      Terbuka
h)      Sadar akan kemampuan diri
i)       Retentif (daya ingat kuat)
j)       Memandang jauh kedepan
k)      Bekerja dalam tim
Ayat Yang Terkait
Seperti yang ada dalam QS: as-syuraa : 37-38
Artinya : Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Ayat 37 : sifat ini disajikan setelah isyarat implisit ihwal toleransi Allah atas dosa dan kesalahan manusia yang kecil-kecil. Isyarat ini mendorong manusia bersikap toleran dan pemaaf serta mengharuskan kepada kaum mukminin bahwa apabila marah, mereka memafkan. Sekali lagi tampak jelas toleransi islam terhadap diri manusia. Islam tidak membebani manusia dengan melebihi kekuatanya. Allah mengetahui bahwa marah merupakan emosi manusia yang bersumber dari fitrahnya. Kemarahan bukan semata-mata sebagai keburukan. Marah karena Allah, agama, kebenaran dan keadilan merupakan kemarahan yang dikehendaki karena mengandung kebaikan. Karena itu, esensi kemarahan tidak diharamkan dan tidak dianggap sebagai kesalahan. Bahkan, eksistensinya dalam fitrah dan tabiat diakui. Maka, manusia yang terombang-ambing antara fitrah dan urusan agamanya dimaafkan. Namun, pada saat yang sama dia dituntun untuk dapat mengalahkan kemarahannya dan supaya memaafkan orang lain. Tindakannya ini dianggap sebagai sifat ideal dan bagian dari sifat keimanan yang disukai.[2]
Tafsir Al Misbah
Ayat 37 : ayat yang lalu menjelaskan dua sifat orang yang akan memperoleh nikmat ukhrowi. Keduanya bersifat bathiniyah, ayat 37 akan datang menjelaskan beberapa sifat lahiriyah mereka yaitu dengan menyatakan : dan kenikmatan abadi itu diraih juga oleh orang-orang yang bersungguh-sungguh menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka secara sungguh-sungguh mendpatkan perlakuan buruk yang mengundang marah- mereka pun secara lahir dan batin – senantiasa mereka memaafkan sedang mereka mampu untuk membalas. Ini disebabkan karena hati mereka demikian lapang, pengendalian diri mereka begitu terkontrol, sehingga amarah yang muncul dengan segera dapat mereka redam. Kata kabair alitsmi dipahami dalam arti dosa dosa besar yang sangat dilarang oleh agama dan diancamnya siksa ukhrowi yang pedih, seperti tuduhan perzinahan dan agresi. Atau ia adalah pelanggaran-pelanggaran yang berdampak buruk dalam masyarakat, seperti berjudi dan minuman keras. Kedua dosa ini dinamai Al-quran mengandung itsmun kabir (Qs. Al-baqarah 219). Kata al-fawahisy adalah bentuk jamak dari fahisyah yakni perbuatan yang sangat buruk menurut penilaian akal dan agama. Ia adalah pelanggaran-pelanggaran yang ditetapkan bagi pelakunya sanksi duniawi, seperti pembunuhan, perzinahan dan pencurian. Agaknya karena pelanggaran yang mengakibatkan perbuatan kaba’ir al itsm dan al fawahisy itu banyak terjadi akibat dorongan nafsu amarah, maka setelah memuji mereka yang menghindari pelanggaran-pelanggaran itu, ayat diatas menyebut sifat terpuji mereka yang punya kaitan erat dengan sifat menahan amarah dan selalu memaafkan orang lain yang melakukan kesalahan terhadap mereka. Huruf maa yang mendahului kata ghadibu berfungsi sebagai penguat, yakni benar-benar mereka itu dibuat marah, sedang kata batin mereka serupa dengan lahirnya, yakni pemaafan yang mereka berikan, benar tulus dan bersumber dari hati mereka.[3]
Artinya : Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Ayat 38 : dalam agama islam, sholat memiliki kedudukan yang tinggi. Sholat merupakan sendi kedua setelah sendi pertama agama yaitu syahadat atau pengakuan bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rosul allah. Sholat merupakan bentuk respon pertama atas seruan Allah, komunikasi antara hamba dan Allah swt, dan merupakan fenomena kesetaraan hamba dalam satu barisan, dalam ruku’ dan sujud. Kepala yang satu tidak boleh tinggi dari kepala yang lain dan kaki yang satu tidak boleh lebih maju daripada kaki yang lain. Mungkin karena aspek kesetaraan itulah, maka sifat sholat diikuti dengan sifat bermusyawarah, sebelum menyajikan sifat berzakat.
            Ayat ini juga menegaskan bahwa seluruh persoalan mereka diputuskan melalui musyawarah supaya dikehiduoan diwarnai sifat ini. Ayat ini merupakan ayat makkiyah yang diturunkan sebelum berdirinya pemerintahan islam. Dengan demikian, sifat ini lebih melingkupi masyarakat muslim daripada sekedar melingkupi pemerintahan, dan merupakan karakter masyarakat islam dalam segala kondisinya, walau-pun pemerintahan dengan konsepnya yang khas belum lagi berdiri. Watak atau sifat musyawarah ditegakkan sejak dini dalam masyarakat. Makna musyawarah lebih luas dan dalam daripada cakupan pemerintah dan segala aspek hukumnya. Musyawarah merupakan watak substansial kehidupan islam dan sebagai indikator istimewa masyarakat yang dipilih sebagai teladan bagi umat lain, dan merupakan sifat yang harus dimiliki dari sekian sifat keteladanan.
            Bentuk musyawarah yang ideal tidak seperti menuangkan cairan kedalam cetakan besi. Tetapi, disesuaikan sepenuhnya dengan kondisi yang ada pada setiap lingkungan dan waktu guna mewujudkan watak ini dalam kehidupan masyarakat islam. Seluruh tatanan islam bukan merupakan bentuk yang mati dan bukan pula teks yang harfiah, tetapi pada prinsipnya musyawarah merupakan semangat yang tumbuh dari endapan hakikat keimanan di dalan kalbu serta penyesuaian perasaan dan perilaku dengan hakikat tersebut. [4]
Tafsir Qurthubi
Ayat 38 : dalam firman ini dibahas tiga masalah; pertama, Firman Allah ta’ala “dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan tuhannya dan mendirikan shalat.” Abdurrahman bin Zaid berkata, “mereka adalah orang-orang anshar di Madinah. Mereka menerima seruan untuk beriman kepada Rasul ketika mereka mengutus dua belas kelompok dari mereka sebelum hijrah. “dan mendirikan sholat.” Yakni, mereka melaksanakannya pada waktunya, sesuai dengan syarat dan rukun-nya. Kedua, Firman Allah ta’ala “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” Yakni mereka bermusyawarah dalam urusan mereka. Asy-syuraa adalah mashdar dari syawartuhu (aku bermusyawarah dengannya) seperti Al Busyraa, Adz Dzikraa, dan yang lainnya. Sebelum Nabi SAW datang, apabila orang-orang Anshar menghendaki suatu urusan maka mereka bermusyawarah dalam urusan tersebut, kemudian barulah mereka melaksanakan hasil musyawarah itu. Allah kemudian menyanjung mereka karena hal itu. Demikianlah yang dikemukakan oleh An-naqqasy.
            Al Hasan berkata, “maksudnya, mereka itu – karena mereka tubduk kepada sebuah pendapat yang diputuskan dalam urusan mereka – sepakat dan mereka tidak berbeda pendapat. Mereka kemudian disanjung karena kesatuan pendapat mereka. Tidaklah suatu kaum bermusyawarah sekalipun kecuali mereka akan diberi petunjuk kepada pendapat yang paling baik dalam urusan mereka. [5]
            Adh-Dhahak berkata, “musyawarah tersebut adalah musyawarah ketika mereka mendengar kemunculan Rasulullah SAW, dan datangnya para delegasi kepada mereka, ketika mereka sepakat dirumah Abu Ayyub untuk beriman kepada beliau dan memberikan dukungan kepada beliau.” Menurut satu pendapat, musyawarah tersebut adalah musyawarah pada hal-hal yang mereka hadapi. Sebagian dari mereka tidak terpengaruh oleh suatu berita jika sebagian lainnya tidak terpengaruh.
            Ibnu Al Arabi berkata, “Musyawarah itu lebih dapat mempersatukan orang banyak, lebih membuka pikiran, dan merupakan sebab untuk sampai pada kebnaran. Tidaklah suatu kaum bermusyawarah sekalipun kecuali mereka akan diberi petunjuk.” Al hakim berkata,
Apabila pendapat telah sepakat untuk bermusyawarah, maka mintalah bantuan pendapat orang yang berakal atau pendapat orang yang bijaksana. Janganlah engkau jadikan musyawarah sebagai kelemahanmu, karena sesungguhnya bulu-bulu (sayap) yang tersembunyi itu merupakan kekuatan bagi sepuluh bulu yang ada di bagian depan sayap.
            Allah menyanjung musyawarah dalam semua hal dengan menyanjung orang-orang yang senantiasa melakukan hal itu, Nabi SAW senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam semua urusan yang berkaitan dengan kemaslahatan perang. Ketiga, pada surah al-imran sudah dijelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam musyawarah, yaitu ketika membahas firman Allah ta’ala “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Al-imran : 159) al masyuraah adalah keberkahan. Al masyawarah adalah musyawarah. Demikian pula dengan al masyuraah. Engkau berkata, ‘syaawartuhu fii al amri wa istasyartuhu (aku bermusyawarah denganya dalam urusan itu dan aku mengajaknya bermusyawarah), maknanya sama.[6]
Kemudian QS: as-syuraa : 43
Artinya : “Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia”
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ayat 43
Orang yang membela diri setelah didzalimi, membalas keburukan dengan keburukan, dan bertindak tidak melampaui batas, maka dia tidak berdosa sebab hanya mengambil haknya seperti yang disyariatkan. Tidak ada seorang pun yang berhak menguasainya dan menghalang-halanginya, yang harus dihalangi justru orang yang mendzalimi dan yang berbuat dzalim dibumi tanpa alasan yang benar. Sebab, bumi tidak akan damai selama disana ada orang zalim yang tidak dicegah dan dihalangi dari kezalimannya ; selama disana ada orang tiran yang berbuat semena-mena dan tidak ada orang yang melawan dan membalasnya. Allah mengancam orang zalim yang melampaui batas dengan azab yang pedih, allah juga menyuruh manusia agar mencegah dan menahannya.
            Kemudian konteks ayat kembali kepada bahasan ihwal keseimbangan, sikap proporsional, pengendalian diri, bersabar, dan toleransi dalam berbagai kondisi individual, ketika mampu membalas. Juga ketika bersabar dan toleransi merupakan kemuliaan dan keindahan, bukan kehinaan dan kenistaan.
            Kelompok ayat yang berkenaan dengan masalah ini menggambarkan sikap proporsional diantara dua kecenderungan, yaitu keinginan kuat untuk memelihara diri dari hasud dan kedengkian, dari kelemahan dan kehinaan dari kezaliman serta sikap semena-mena; keterkaitan diri dengan allah dan keridhoa-Nya dalam segala hal dan menjadikan kesabaran sebagai bekal utama perjalanan. Himpunan sifat orang beriman melukiskan watak mulia kaum muslimin yang menjadi teladan bagi seluruh umat manusia dan yang mengharapkan apa yang ada di sisi Allah yang keadaanya lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman dan yang bertwakal kepada tuhannya.[7]
Tafsir al-misbah ayat 43
Anjuran memaafkan sebagaimana ayat yang sebelumnya boleh jadi menimbulkan kesan larangan melakukan pembalasan secara adil, karena itu ayat diatas menekankan bahwa : dan sungguh orang yang berusaha membela diri sesudah ia teraniaya walau setelah waktu berlalu yang lama, maka mereka itu tidaklah ada atas mereka satu jalan pun untuk mengecamnya apalagi menilainya berdosa dan dijatuhi sanksi. Sesungguhnya jalan untuk mengecam dan menilai berdosa hanyalah atas orang-orang yang dengan sengaja berbuat zalim terhadap manusia serta melampaui batas di muka bumi tanpa haq. Mereka itulah yang sungguh jauh kebejatan moralnya dan bagi mereka siksa yang pedih. Demikianlah tuntunan Allah, dan sungguh Allah bersumpah bahwa siapa yang bersabar menghadapi kezaliman sehingga tidak melakukan pembalasan dan memaafkan yang menganiaya- selama tidak menyebabkan bertambahnya kezaliman – maka sesungguhnya perbuatan yang demikian itu luhurnya termasuk hal-hal yang diutamakan. Hal yang hendaknya dilakukan oleh orang yang mempunyai akal sehat. Sementara ulama berpendapat bahwa anjuran untuk memaafkan adalah terhadap penganiaya yang menyesali perbuatanya, sedang anjuran untuk membalas setimpal adalah terhadap penganiaya yang tetap membangkang, tetapi anjuran ini baru diterapkan bila yang bermaksud membalas memiliki kemampuan membalas dengan tepat.[8]
Kemudian QS.al-israa 28
Artinya : “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang mudah”
Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya yang memerintahkan untuk mengeluarkan infak kepada famili dan orang-orang miskin, ayat ini mengatakan, bila kalian tidak memiliki apa-apa untuk berinfak kepada orang lain, setidak-tidaknya dengan ucapan yang lemah lembut kalian dapat menggembirakan hati orang lain. Berikan harapan kepada orang yang membutuhkan dan setiap kali Allah memberikan keluasan rezeki kepadamu, jangan lupa untuk membantu orang lain semampumu. Dalam riwayat juga disebutkan, setiap orang yang punya keperluan dengan Rasulullah saw yang tidak dapat dipenuhi oleh beliau, langsung Rasul mendoakan kepadanya dan mengatakan, “Ya Allah! Berikan kami dan dia keutamaan rezeki-Mu.”
            Kalimat ibtigha’a rahmatin min rabbika untuk memperoleh rahmat tuhanmu, bisa juga dipahami berkaitan dengan perintah mengucapkan kata-kata yang mudah, sehingga ayat ini bagaikan menyatakan ‘katakanlah kepada mereka ucapan yang mudah untuk memperoleh rahmat dari tuhanmu.[9]
Implementasi Dan Kontekstualisasi
Ayat diatas menjelaskan sifat-sifat orang yang beriman yang akan memasuki surga Yaitu :
a)      Senantiasa melaksanakan perintah Allah swt, dan meninggalkan larangannya.
b)      Disiplin dalam mengerjakan sholat.
c)      Selalu bermusyawarah dalam hal-hal yang perlu dimusyawarahkan.
d)      Menafkahkan sebagian rizki yang telah dikaruniakan oleh Allah swt. Untuk hal-hal yang diridloiNya.
Musyawarah termasuk salah satu sifat orang yang beriman, hal ini perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, fasilitator dituntut untuk memahami cara efektif dalam menemukan solusi dan dalam pemecahan masalah yang diselesaikan dalam musyawarah, terutama dalam hal-hal yang memang perlu dimusyawarahkan, misalnya : Hal yang sangat penting, sesuatu yang ada hubungannya dengan orang banyak / masyarakat, pengambilan keputusan dan lain-lain.
Dalam kehidupan bermasyarakat musyawarah sangat penting karena :
a)      Permasalahan yang sulit menjadi mudah karena dipecahkan oleh orang banyak lebih-lebih kalau yang membahas orang yang ahli.
b)      Akan terjadi kesepahaman dalam bertindak.
c)      Menghindari prasangka yang negatif, terutama masalah yang ada hubungannya dengan orang banyak
d)      Melatih diri menerima saran dan kritik dari orang lain
e)      Berlatih menghargai pendapat orang lain.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎
1.      Senantiasa manusia harus berharap kepada rahmat ilahi dan memberikan harapan kepada orang lain dengan ucapan yang lemah lembut.
2.      Bila kita tidak mampu memenuhi kebutuhan finansial orang lain, hendaknya kita dapat memciptakan harapan dalam hatinya.
Ayat diatas juga mejelaskan bahwa dalam menghadapi masalah hendaknya menyikapinya dengan sabar dan tidak emosi, serta dibutuhkan sifat pemaaf, membantu memberikan arahan ke arah yang lebih baik.
Jadi, sikap yang harus dimiliki seorang fasilitator dalam menyelesaikan masalah mengacu pada ayat diatas adalah pertama yaitu pemaaf, seorang fasilitator hendaknya memiliki sifat pemaaf, dan tidak suka membalas dendam, misalnya ada masyarakat yang salah sedikit karena belum berpengalaman atau belum terbiasa maka fasilitator hendaknya memaafkannya meskipun sedikit merugikan, fasilitator tidak boleh mudah marah atau emosian. Sikap kedua yang harus dimiliki seorang fasilitator yaitu sabar, dalam mengembangkan masyarakat hendaknya sabar mengajari masyarakat, sabar menghadapi berbagai sifat dan sikap masyarakat, sabar dalam menjalankan proses pengembangan masyarakat, karena untuk mengembangkan masyarakat tidak bisa dilakukan secara instan, pengembangan masyarakat harus dilakukan secara bertahap. Sikap ketiga yaitu memusyawarahkan dengan masyarakat, fasilitator tidak boleh memutuskan permasalahan sendirian atau sepihak, fasilitator harus menyelesaikan masalah yang muncul dengan masyarakat, agar masyarakat juga bisa menyampaikan solusi dan berpendapat dalam forum musyawarah tersebut. Sikap keempat yaitu berbicara lemah lembut dan mudah dipahami, dalam memberikan arahan ataupun pelatihan terhadap masyarakat hendaknya menyampaikan dengan pelan-pelan dan lemah lembut khususnya ke orang tua, tidak terburu-buru dalam menjelaskan, dan juga dalam memberikan arahan harus dengan kata-kata yang jelas dan mudah dipahami.


DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, tafsir Al-misbah : pesan, kesan dan keserasian al-qur’an volume 12, lentera hati; jakarta, 2003
Shihab, M. Quraish, tafsir Al-misbah : pesan, kesan dan keserasian al-qur’an volume 7, lentera hati; jakarta, 2003
Quthub, Sayyid, tafsir fi zhilallil qur’an : dibawah naungan Al-qur’an, gema insani; jakarta, 2000
al-qurthubi, Syaikh imam, tafsir al-qurthubi, pustaka azzam; jakarta, 2008
Sumpeno, Wahyudin, menjadi fasilitator jenius, Pustaka pelajar; yogyakarta, 2009




[1] Wahyudin Sumpeno, menjadi fasilitator jenius, Pustaka pelajar;yogyakarta
[2] Sayyid Quthub, tafsir fi zhilallil qur’an : dibawah naungan Al-qur’an, gema insani;jakarta, hlm, 213-214
[3] M. Quraish shihab, tafsir Al-misbah : pesan, kesan dan kessereasian al-qur’an volume 12, lentera hati; jakarta, hlm 510
[4] Sayyid Quthub, tafsir fi zhilallil qur’an : dibawah naungan Al-qur’an, gema insani;jakarta, hlm, 213-214
[5] Lih. Tafsir Hasan Al Bashru (2/272).
[6] Syaikh imam al-qurthubi, tafsir al-qurthubi, pustaka azzam; jakarta, hlm 91-95
[7] Sayyid Quthub, tafsir fi zhilallil qur’an : dibawah naungan Al-qur’an, gema insani;jakarta, hlm 215
[8] M. Quraish shihab, tafsir Al-misbah : pesan, kesan dan kessereasian al-qur’an volume 12, lentera hati; jakarta, hlm 515-516
[9] M. Quraish shihab, tafsir Al-misbah : pesan, kesan dan kessereasian al-qur’an volume 7, lentera hati; jakarta, hlm 453