AKTUALISASI
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM AL-QUR’AN
SIKAP
YANG HARUS DIMILIKI OLEH FASILITATOR DALAM MENYELESAIKAN MASALAH
Disusun
oleh :
NUR
ALFI HASANAH
(15230057)
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Upaya
untuk memberdayakan masyarakat disebut juga fasilitasi, fasilitasi dilakukan
oleh seorang pemberdaya masyarakat atau disebut juga fasilitator. Menjadi fasilitator
harus memiliki keahlian, berkompeten, dan memiliki sikap dan sifat yang sesuai.
Tugas fasilitator diantaranya, membina kelompok masyarakat yang terkena krisis
sehingga menjadi suatu kebersamaan tujuan dan kegiatan yang berorientasi pada
upaya perbaikan kehidupan, dan sebagai penghubung dan penggerak dalam
pembentukan kelompok masyarakat dan pembimbing pengembangan kegiatan kelompok.
Kegiatan pendampingan dilakukan dalam upaya mendorong partisipasi dan
kemandirian masyarakat, dan merupakan salah satu bagian dalam proses
pemberdayaan masyarakat.
Dalam
masyarakat sering pula dijumpai permasalahan-permasalahan yang ada di suatu
daerah itu, dalam penyelesaian masalah seorang fasilitator harus membantu dalam
penyelesaian masalah tersebut dan juga memberikan solusi terbaik akan masalah
yang muncul. Dalam melihat masalah yang muncul pun fasilitator harus menyikapinya
dengan kepala dingin, tidak dengan emosi. Adapun cara yang digunakan
fasilitator untuk menyelesaikan masalah yaitu dengan musyawarah, didalam
musyawarah keputusan dari penyelesaian masalah diambil dengan mufakat, semua
orang dilibatkan, dan kelompok masyarakat mengambil keputusan secara demokratis
berdasarkan suara terbanyak dan menjadi keputusan bersama.
Untuk
menghadapi persoalan diatas tentunya fasilitator harus memiliki sikap sabar,
tekun, solutif, kreatif, religius dan menjadi pendengar yang baik bagi keluhan
masyarakat dari permasalahan yang muncul.
Dalam
artikel ini akan dibahas mengenai sikap yang harus dimiliki oleh seorang
fasilitator dalam menyelesaikan masalah. Dalam memberdayakan masyarakat seorang
fasilitator akan berhadapan langsung dan berkomunikasi langsung dengan
masyarakat yang akan diberdayakan, masyarakat membutuhkan teladan untuk
dicontoh. Sebagai fasilitator harus menjadi teladan dan panutan bagi
masyarakat, sehingga kinerja profesional dan kepercayaan terus meningkat.
Fasilitator harus bersikap sopan, jujur, terbuka, demokratis, profesional dan
sikap baik lainya. Untuk menjadi fasilitator yang ideal ada kriteria yang dapat
digunakan sebagai panduan untuk menentukan kualitas dirinya[1]. Antara lain :
a) Kreatif
b) Sabar
c) Mendukung
kinerja
d) Berminat
e) Pendengar
yang baik
f) Selalu
bekerjasama secara efektif
g) Terbuka
h) Sadar
akan kemampuan diri
i) Retentif
(daya ingat kuat)
j) Memandang
jauh kedepan
k) Bekerja
dalam tim
Ayat Yang Terkait
Seperti
yang ada dalam QS: as-syuraa : 37-38
Artinya
: Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan
keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf
Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an
Ayat
37 : sifat ini disajikan setelah isyarat implisit ihwal toleransi Allah atas dosa
dan kesalahan manusia yang kecil-kecil. Isyarat ini mendorong manusia bersikap
toleran dan pemaaf serta mengharuskan kepada kaum mukminin bahwa apabila marah,
mereka memafkan. Sekali lagi tampak jelas toleransi islam terhadap diri
manusia. Islam tidak membebani manusia dengan melebihi kekuatanya. Allah
mengetahui bahwa marah merupakan emosi manusia yang bersumber dari fitrahnya.
Kemarahan bukan semata-mata sebagai keburukan. Marah karena Allah, agama,
kebenaran dan keadilan merupakan kemarahan yang dikehendaki karena mengandung
kebaikan. Karena itu, esensi kemarahan tidak diharamkan dan tidak dianggap
sebagai kesalahan. Bahkan, eksistensinya dalam fitrah dan tabiat diakui. Maka,
manusia yang terombang-ambing antara fitrah dan urusan agamanya dimaafkan. Namun,
pada saat yang sama dia dituntun untuk dapat mengalahkan kemarahannya dan
supaya memaafkan orang lain. Tindakannya ini dianggap sebagai sifat ideal dan
bagian dari sifat keimanan yang disukai.[2]
Tafsir
Al Misbah
Ayat
37 : ayat yang lalu menjelaskan dua sifat orang yang akan memperoleh nikmat
ukhrowi. Keduanya bersifat bathiniyah, ayat 37 akan datang menjelaskan beberapa
sifat lahiriyah mereka yaitu dengan menyatakan : dan kenikmatan abadi itu
diraih juga oleh orang-orang yang bersungguh-sungguh menjauhi dosa-dosa besar
dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka secara sungguh-sungguh
mendpatkan perlakuan buruk yang mengundang marah- mereka pun secara lahir dan
batin – senantiasa mereka memaafkan sedang mereka mampu untuk membalas. Ini
disebabkan karena hati mereka demikian lapang, pengendalian diri mereka begitu
terkontrol, sehingga amarah yang muncul dengan segera dapat mereka redam. Kata kabair alitsmi dipahami dalam arti dosa
dosa besar yang sangat dilarang oleh agama dan diancamnya siksa ukhrowi yang
pedih, seperti tuduhan perzinahan dan agresi. Atau ia adalah
pelanggaran-pelanggaran yang berdampak buruk dalam masyarakat, seperti berjudi
dan minuman keras. Kedua dosa ini dinamai Al-quran mengandung itsmun kabir (Qs. Al-baqarah 219). Kata al-fawahisy adalah bentuk jamak dari fahisyah yakni perbuatan yang sangat
buruk menurut penilaian akal dan agama. Ia adalah pelanggaran-pelanggaran yang
ditetapkan bagi pelakunya sanksi duniawi, seperti pembunuhan, perzinahan dan
pencurian. Agaknya karena pelanggaran yang mengakibatkan perbuatan kaba’ir al itsm dan al fawahisy itu banyak terjadi akibat dorongan nafsu amarah, maka
setelah memuji mereka yang menghindari pelanggaran-pelanggaran itu, ayat diatas
menyebut sifat terpuji mereka yang punya kaitan erat dengan sifat menahan
amarah dan selalu memaafkan orang lain yang melakukan kesalahan terhadap
mereka. Huruf maa yang mendahului
kata ghadibu berfungsi sebagai
penguat, yakni benar-benar mereka itu dibuat marah, sedang kata batin mereka
serupa dengan lahirnya, yakni pemaafan yang mereka berikan, benar tulus dan
bersumber dari hati mereka.[3]
Artinya
: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka
Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an
Ayat
38 : dalam agama islam, sholat memiliki kedudukan yang tinggi. Sholat merupakan
sendi kedua setelah sendi pertama agama yaitu syahadat atau pengakuan bahwa
tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rosul allah. Sholat
merupakan bentuk respon pertama atas seruan Allah, komunikasi antara hamba dan
Allah swt, dan merupakan fenomena kesetaraan hamba dalam satu barisan, dalam
ruku’ dan sujud. Kepala yang satu tidak boleh tinggi dari kepala yang lain dan
kaki yang satu tidak boleh lebih maju daripada kaki yang lain. Mungkin karena
aspek kesetaraan itulah, maka sifat sholat diikuti dengan sifat bermusyawarah,
sebelum menyajikan sifat berzakat.
Ayat ini juga menegaskan bahwa
seluruh persoalan mereka diputuskan melalui musyawarah supaya dikehiduoan
diwarnai sifat ini. Ayat ini merupakan ayat makkiyah yang diturunkan sebelum
berdirinya pemerintahan islam. Dengan demikian, sifat ini lebih melingkupi masyarakat
muslim daripada sekedar melingkupi pemerintahan, dan merupakan karakter
masyarakat islam dalam segala kondisinya, walau-pun pemerintahan dengan
konsepnya yang khas belum lagi berdiri. Watak atau sifat musyawarah ditegakkan
sejak dini dalam masyarakat. Makna musyawarah lebih luas dan dalam daripada
cakupan pemerintah dan segala aspek hukumnya. Musyawarah merupakan watak
substansial kehidupan islam dan sebagai indikator istimewa masyarakat yang
dipilih sebagai teladan bagi umat lain, dan merupakan sifat yang harus dimiliki
dari sekian sifat keteladanan.
Bentuk musyawarah yang ideal tidak
seperti menuangkan cairan kedalam cetakan besi. Tetapi, disesuaikan sepenuhnya
dengan kondisi yang ada pada setiap lingkungan dan waktu guna mewujudkan watak
ini dalam kehidupan masyarakat islam. Seluruh tatanan islam bukan merupakan
bentuk yang mati dan bukan pula teks yang harfiah, tetapi pada prinsipnya
musyawarah merupakan semangat yang tumbuh dari endapan hakikat keimanan di
dalan kalbu serta penyesuaian perasaan dan perilaku dengan hakikat tersebut. [4]
Tafsir
Qurthubi
Ayat
38 : dalam firman ini dibahas tiga masalah; pertama,
Firman Allah ta’ala “dan bagi
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan tuhannya dan mendirikan shalat.”
Abdurrahman bin Zaid berkata, “mereka adalah orang-orang anshar di Madinah.
Mereka menerima seruan untuk beriman kepada Rasul ketika mereka mengutus dua
belas kelompok dari mereka sebelum hijrah. “dan
mendirikan sholat.” Yakni, mereka melaksanakannya pada waktunya, sesuai
dengan syarat dan rukun-nya. Kedua,
Firman Allah ta’ala “sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” Yakni mereka bermusyawarah
dalam urusan mereka. Asy-syuraa adalah mashdar dari syawartuhu (aku
bermusyawarah dengannya) seperti Al Busyraa, Adz Dzikraa, dan yang lainnya.
Sebelum Nabi SAW datang, apabila orang-orang Anshar menghendaki suatu urusan
maka mereka bermusyawarah dalam urusan tersebut, kemudian barulah mereka
melaksanakan hasil musyawarah itu. Allah kemudian menyanjung mereka karena hal
itu. Demikianlah yang dikemukakan oleh An-naqqasy.
Al Hasan berkata, “maksudnya, mereka
itu – karena mereka tubduk kepada sebuah pendapat yang diputuskan dalam urusan
mereka – sepakat dan mereka tidak berbeda pendapat. Mereka kemudian disanjung
karena kesatuan pendapat mereka. Tidaklah suatu kaum bermusyawarah sekalipun
kecuali mereka akan diberi petunjuk kepada pendapat yang paling baik dalam
urusan mereka. [5]
Adh-Dhahak berkata, “musyawarah
tersebut adalah musyawarah ketika mereka mendengar kemunculan Rasulullah SAW,
dan datangnya para delegasi kepada mereka, ketika mereka sepakat dirumah Abu
Ayyub untuk beriman kepada beliau dan memberikan dukungan kepada beliau.” Menurut
satu pendapat, musyawarah tersebut adalah musyawarah pada hal-hal yang mereka
hadapi. Sebagian dari mereka tidak terpengaruh oleh suatu berita jika sebagian
lainnya tidak terpengaruh.
Ibnu Al Arabi berkata, “Musyawarah
itu lebih dapat mempersatukan orang banyak, lebih membuka pikiran, dan
merupakan sebab untuk sampai pada kebnaran. Tidaklah suatu kaum bermusyawarah
sekalipun kecuali mereka akan diberi petunjuk.” Al hakim berkata,
Apabila pendapat telah sepakat untuk
bermusyawarah, maka mintalah bantuan pendapat orang yang berakal atau pendapat
orang yang bijaksana. Janganlah engkau jadikan musyawarah sebagai kelemahanmu,
karena sesungguhnya bulu-bulu (sayap) yang tersembunyi itu merupakan kekuatan
bagi sepuluh bulu yang ada di bagian depan sayap.
Allah menyanjung musyawarah dalam
semua hal dengan menyanjung orang-orang yang senantiasa melakukan hal itu, Nabi
SAW senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam semua urusan yang
berkaitan dengan kemaslahatan perang. Ketiga,
pada surah al-imran sudah dijelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam
musyawarah, yaitu ketika membahas firman Allah ta’ala “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Al-imran :
159) al masyuraah adalah keberkahan. Al masyawarah adalah musyawarah.
Demikian pula dengan al masyuraah. Engkau berkata, ‘syaawartuhu fii al amri wa
istasyartuhu (aku bermusyawarah denganya dalam urusan itu dan aku mengajaknya
bermusyawarah), maknanya sama.[6]
Kemudian
QS: as-syuraa : 43
Artinya
: “Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu
termasuk perbuatan yang mulia”
Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an ayat 43
Orang
yang membela diri setelah didzalimi, membalas keburukan dengan keburukan, dan
bertindak tidak melampaui batas, maka dia tidak berdosa sebab hanya mengambil
haknya seperti yang disyariatkan. Tidak ada seorang pun yang berhak
menguasainya dan menghalang-halanginya, yang harus dihalangi justru orang yang
mendzalimi dan yang berbuat dzalim dibumi tanpa alasan yang benar. Sebab, bumi
tidak akan damai selama disana ada orang zalim yang tidak dicegah dan dihalangi
dari kezalimannya ; selama disana ada orang tiran yang berbuat semena-mena dan
tidak ada orang yang melawan dan membalasnya. Allah mengancam orang zalim yang
melampaui batas dengan azab yang pedih, allah juga menyuruh manusia agar
mencegah dan menahannya.
Kemudian konteks ayat kembali kepada
bahasan ihwal keseimbangan, sikap proporsional, pengendalian diri, bersabar,
dan toleransi dalam berbagai kondisi individual, ketika mampu membalas. Juga
ketika bersabar dan toleransi merupakan kemuliaan dan keindahan, bukan kehinaan
dan kenistaan.
Kelompok ayat yang berkenaan dengan
masalah ini menggambarkan sikap proporsional diantara dua kecenderungan, yaitu
keinginan kuat untuk memelihara diri dari hasud dan kedengkian, dari kelemahan
dan kehinaan dari kezaliman serta sikap semena-mena; keterkaitan diri dengan
allah dan keridhoa-Nya dalam segala hal dan menjadikan kesabaran sebagai bekal
utama perjalanan. Himpunan sifat orang beriman melukiskan watak mulia kaum muslimin
yang menjadi teladan bagi seluruh umat manusia dan yang mengharapkan apa yang
ada di sisi Allah yang keadaanya lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang
yang beriman dan yang bertwakal kepada tuhannya.[7]
Tafsir
al-misbah ayat 43
Anjuran
memaafkan sebagaimana ayat yang sebelumnya boleh jadi menimbulkan kesan
larangan melakukan pembalasan secara adil, karena itu ayat diatas menekankan
bahwa : dan sungguh orang yang berusaha membela diri sesudah ia teraniaya walau
setelah waktu berlalu yang lama, maka mereka itu tidaklah ada atas mereka satu
jalan pun untuk mengecamnya apalagi menilainya berdosa dan dijatuhi sanksi.
Sesungguhnya jalan untuk mengecam dan menilai berdosa hanyalah atas orang-orang
yang dengan sengaja berbuat zalim terhadap manusia serta melampaui batas di
muka bumi tanpa haq. Mereka itulah yang sungguh jauh kebejatan moralnya dan
bagi mereka siksa yang pedih. Demikianlah tuntunan Allah, dan sungguh Allah
bersumpah bahwa siapa yang bersabar menghadapi kezaliman sehingga tidak
melakukan pembalasan dan memaafkan yang menganiaya- selama tidak menyebabkan
bertambahnya kezaliman – maka sesungguhnya perbuatan yang demikian itu luhurnya
termasuk hal-hal yang diutamakan. Hal yang hendaknya dilakukan oleh orang yang
mempunyai akal sehat. Sementara ulama berpendapat bahwa anjuran untuk memaafkan
adalah terhadap penganiaya yang menyesali perbuatanya, sedang anjuran untuk
membalas setimpal adalah terhadap penganiaya yang tetap membangkang, tetapi
anjuran ini baru diterapkan bila yang bermaksud membalas memiliki kemampuan
membalas dengan tepat.[8]
Kemudian
QS.al-israa 28
Artinya
: “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu
yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang mudah”
Sebagai
kelanjutan ayat sebelumnya yang memerintahkan untuk mengeluarkan infak kepada
famili dan orang-orang miskin, ayat ini mengatakan, bila kalian tidak memiliki
apa-apa untuk berinfak kepada orang lain, setidak-tidaknya dengan ucapan yang
lemah lembut kalian dapat menggembirakan hati orang lain. Berikan harapan
kepada orang yang membutuhkan dan setiap kali Allah memberikan keluasan rezeki
kepadamu, jangan lupa untuk membantu orang lain semampumu. Dalam riwayat juga
disebutkan, setiap orang yang punya keperluan dengan Rasulullah saw yang tidak
dapat dipenuhi oleh beliau, langsung Rasul mendoakan kepadanya dan mengatakan,
“Ya Allah! Berikan kami dan dia keutamaan rezeki-Mu.”
Kalimat ibtigha’a rahmatin min rabbika untuk memperoleh rahmat tuhanmu,
bisa juga dipahami berkaitan dengan perintah mengucapkan kata-kata yang mudah,
sehingga ayat ini bagaikan menyatakan ‘katakanlah kepada mereka ucapan yang
mudah untuk memperoleh rahmat dari tuhanmu.[9]
Implementasi Dan Kontekstualisasi
Ayat
diatas menjelaskan sifat-sifat orang yang beriman yang akan memasuki surga
Yaitu :
a) Senantiasa
melaksanakan perintah Allah swt, dan meninggalkan larangannya.
b) Disiplin
dalam mengerjakan sholat.
c) Selalu
bermusyawarah dalam hal-hal yang perlu dimusyawarahkan.
d) Menafkahkan
sebagian rizki yang telah dikaruniakan oleh Allah swt. Untuk hal-hal yang
diridloiNya.
Musyawarah
termasuk salah satu sifat orang yang beriman, hal ini perlu diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari seorang muslim, fasilitator dituntut untuk memahami cara
efektif dalam menemukan solusi dan dalam pemecahan masalah yang diselesaikan
dalam musyawarah, terutama dalam hal-hal yang memang perlu dimusyawarahkan,
misalnya : Hal yang sangat penting, sesuatu yang ada hubungannya dengan orang
banyak / masyarakat, pengambilan keputusan dan lain-lain.
Dalam
kehidupan bermasyarakat musyawarah sangat penting karena :
a) Permasalahan
yang sulit menjadi mudah karena dipecahkan oleh orang banyak lebih-lebih kalau
yang membahas orang yang ahli.
b) Akan
terjadi kesepahaman dalam bertindak.
c) Menghindari
prasangka yang negatif, terutama masalah yang ada hubungannya dengan orang
banyak
d) Melatih
diri menerima saran dan kritik dari orang lain
e) Berlatih
menghargai pendapat orang lain.
Dari
ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Senantiasa
manusia harus berharap kepada rahmat ilahi dan memberikan harapan kepada orang
lain dengan ucapan yang lemah lembut.
2. Bila
kita tidak mampu memenuhi kebutuhan finansial orang lain, hendaknya kita dapat
memciptakan harapan dalam hatinya.
Ayat
diatas juga mejelaskan bahwa dalam menghadapi masalah hendaknya menyikapinya
dengan sabar dan tidak emosi, serta dibutuhkan sifat pemaaf, membantu
memberikan arahan ke arah yang lebih baik.
Jadi,
sikap yang harus dimiliki seorang fasilitator dalam menyelesaikan masalah
mengacu pada ayat diatas adalah pertama yaitu pemaaf, seorang fasilitator hendaknya memiliki sifat pemaaf, dan
tidak suka membalas dendam, misalnya ada masyarakat yang salah sedikit karena
belum berpengalaman atau belum terbiasa maka fasilitator hendaknya memaafkannya
meskipun sedikit merugikan, fasilitator tidak boleh mudah marah atau emosian.
Sikap kedua yang harus dimiliki seorang fasilitator yaitu sabar, dalam mengembangkan masyarakat hendaknya sabar mengajari
masyarakat, sabar menghadapi berbagai sifat dan sikap masyarakat, sabar dalam
menjalankan proses pengembangan masyarakat, karena untuk mengembangkan
masyarakat tidak bisa dilakukan secara instan, pengembangan masyarakat harus
dilakukan secara bertahap. Sikap ketiga yaitu memusyawarahkan dengan masyarakat, fasilitator tidak boleh
memutuskan permasalahan sendirian atau sepihak, fasilitator harus menyelesaikan
masalah yang muncul dengan masyarakat, agar masyarakat juga bisa menyampaikan
solusi dan berpendapat dalam forum musyawarah tersebut. Sikap keempat yaitu
berbicara lemah lembut dan mudah dipahami, dalam memberikan arahan ataupun
pelatihan terhadap masyarakat hendaknya menyampaikan dengan pelan-pelan dan
lemah lembut khususnya ke orang tua, tidak terburu-buru dalam menjelaskan, dan
juga dalam memberikan arahan harus dengan kata-kata yang jelas dan mudah
dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, tafsir Al-misbah : pesan, kesan
dan keserasian al-qur’an volume 12, lentera hati; jakarta, 2003
Shihab, M. Quraish, tafsir Al-misbah : pesan, kesan dan
keserasian al-qur’an volume 7, lentera hati; jakarta, 2003
Quthub, Sayyid, tafsir fi zhilallil qur’an : dibawah
naungan Al-qur’an, gema insani; jakarta, 2000
al-qurthubi, Syaikh imam, tafsir al-qurthubi, pustaka
azzam; jakarta, 2008
Sumpeno, Wahyudin, menjadi fasilitator jenius, Pustaka
pelajar; yogyakarta, 2009
[1] Wahyudin
Sumpeno, menjadi fasilitator jenius, Pustaka pelajar;yogyakarta
[2] Sayyid
Quthub, tafsir fi zhilallil qur’an : dibawah naungan Al-qur’an, gema
insani;jakarta, hlm, 213-214
[3] M.
Quraish shihab, tafsir Al-misbah : pesan, kesan dan kessereasian al-qur’an
volume 12, lentera hati; jakarta, hlm 510
[4] Sayyid
Quthub, tafsir fi zhilallil qur’an : dibawah naungan Al-qur’an, gema
insani;jakarta, hlm, 213-214
[5] Lih.
Tafsir Hasan Al Bashru (2/272).
[6] Syaikh
imam al-qurthubi, tafsir al-qurthubi, pustaka azzam; jakarta, hlm 91-95
[7] Sayyid
Quthub, tafsir fi zhilallil qur’an : dibawah naungan Al-qur’an, gema
insani;jakarta, hlm 215
[8] M.
Quraish shihab, tafsir Al-misbah : pesan, kesan dan kessereasian al-qur’an
volume 12, lentera hati; jakarta, hlm 515-516
[9] M.
Quraish shihab, tafsir Al-misbah : pesan, kesan dan kessereasian al-qur’an
volume 7, lentera hati; jakarta, hlm 453
Tidak ada komentar:
Posting Komentar